Definisi Budaya
Budaya adalah
suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk
dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari
diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan
secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan
orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya
adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak,
dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan
sosial manusia.
Beberapa
alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan
orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah
suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra
yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang
memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya
seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu
dengan alam" d Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina.
Citra
budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya
dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan
menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam
anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa
bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan
demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan
perilaku orang lain.
Pengertian kebudayaan
Kebudayaan
sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat
dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut
Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai
sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat.
Menurut
Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks,
yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari
berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai
kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh
manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda
yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya
ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat
Terkait
dengan teori yang dijelaskan di atas, berikut contoh artikel terkait
dengan salah satu unsur atau bentuk kebudayaan tersebut :
Bangkitkan Kembali Budaya Ramah Tamah
Oleh: Zakina, S.Sos. MSi.
Kasubbag Pers dan Peliputan Humas Pemkab-Belitung
"Nilai-nilai kearifan lokal dan kultur Belitong sangatlah sarat dengan keramah-tamahan, sopan-santun, dan budaya konteks tinggi lewat tradisi “begalor”, “becangek” dan “bekelakar” yang mampu mencairkan segala suasana.Kita tentu ingin nilai-nilai luhur tersebut tidak terserabut dari akarnya"
PASCA reformasi banyak hal yang berubah. Aksi anarkis, teror, demonstransi cacat sopan santun, kekerasan komunal dan sosial serta segudang degradasi moral lainnya menjadi tontonan hari-hari. Bahkan aksi teror bom yang dilakukan sekelompok orang tidak berperikemanusiaan mengancam kapan dan dimana saja. “Smiling people” yang menjadi ciri khas bangsa ini seakan berubah menjadi pembunuh berdarah dingin. Apalagi setelah beberapa rangkaian bom meledak di beberapa kota besar di Indonesia yang menewaskan wisatawan mancanegara, seperti di Legian dan Jimbaran Bali selang beberapa tahun lalu.
Kesan dan image negatif Indonesia dibingkai sedemikian rupa oleh media asing sehingga terbentuk opini publik secara pasti bahwa begitulah Indonesia. Tak pelak, investasi dari luar sempat menurun ditambah lagi konflik politik antar elit yang tidak berkesudahan, dan korupsi yang merajalela membuat daftar negatifitas citra Indonesia semakin panjang.
Kita seakan tak mampu berbicara banyak. Boleh jadi kita memang bukan lagi negeri yang orang-orangnya ramah. Fakta kecilnya, setiap diri kita boleh bertanya seberapa sering kita menyapa dengan senyum tulus pada setiap orang yang kita temui. Seberapa besar keramahan kita ketika berjumpa orang-orang baru yang bertandang ke daerah kita. Seberapa ramahnya kita pada tamu-tamu yang datang ke kantor untuk menanyakan sesuatu, kepada masyarakat yang meminta pelayanan padahal sejatinya siapapun dan apapun profesinya, kita adalah pelayan.
Kesamaan dan kedekatan memang baru akan semakin terasa ketika kita berada dalam ruang yang besar sehingga tingkat peluang semakin kecil. Ketika peluang itu muncul maka akan semakin bernilai harganya. Inilah kira-kira logika yang dapat digunakan untuk menerangkan peristiwa yang saya alami.
Sebenarnya apapun ragam bentuk identitas yang kita miliki akan demikianlah muaranya. Seseorang bisa memiliki lebih dari satu identitas berdasarkan ragam latar belakang kehidupan, asal-usul, agama, daerah, suku, bangsa, profesi dan sebagainya. Dua orang petani yang terdampar di pulau nelayan akan merasa kedekatan yang sangat ketika bertemu karena hanya mereka berdua yang berprofesi sama di tempat itu, begitulah seterusnya.
Semisal sebagai urang Belitong, tentunya akan semakin dekat dengan urang Belitong lainnya ketika berada di daerah atau negara lain.
Dan mestinya harus semakin dekat lagi jikalau masih berada dalam satu komunitas dan wilayah yang sama, di Satu Pulau Belitong. Kini, menjelang peringatan Hari Jadi Kota Tanjungpandan ke-173 alangkah indahnya bila kita rekatkan kembali tali silaturahim sebagai sesama keluarga “perenggu urang Belitong”. Nilai-nilai kearifan lokal dan kultur Belitong sangatlah sarat dengan keramah-tamahan, sopan-santun, dan budaya konteks tinggi lewat tradisi “begalor”, “becangek” dan “bekelakar” yang mampu mencairkan segala suasana.
Kita tentu ingin nilai-nilai luhur tersebut tidak terserabut dari akarnya. Budayakan saling tegur sapa dengan siapa saja dihiasi senyum manis, ramah tamah. Jangan sampai modernisasi mengalahkan kita. Jangan sampai teknologi dan ilmu pengetahuan menjadi dewa, sementara kita menjadi budak karena faktanya tidak sedikit dari kita atau sebagian anak muda yang enggan berkelakar dengan “sedare” (sanak keluarga) hanya karena asyik bermain play station di kamarnya.
Menjelang HJKT Tanjungpandan ke-173 mari bangkitkan budaya luhur daerah kita, yang ramah dan sopan. Apalagi tiga tahun terakhir ini Belitung sangat gencar mempromosikan pariwisatanya. ***
Kasubbag Pers dan Peliputan Humas Pemkab-Belitung
"Nilai-nilai kearifan lokal dan kultur Belitong sangatlah sarat dengan keramah-tamahan, sopan-santun, dan budaya konteks tinggi lewat tradisi “begalor”, “becangek” dan “bekelakar” yang mampu mencairkan segala suasana.Kita tentu ingin nilai-nilai luhur tersebut tidak terserabut dari akarnya"
PASCA reformasi banyak hal yang berubah. Aksi anarkis, teror, demonstransi cacat sopan santun, kekerasan komunal dan sosial serta segudang degradasi moral lainnya menjadi tontonan hari-hari. Bahkan aksi teror bom yang dilakukan sekelompok orang tidak berperikemanusiaan mengancam kapan dan dimana saja. “Smiling people” yang menjadi ciri khas bangsa ini seakan berubah menjadi pembunuh berdarah dingin. Apalagi setelah beberapa rangkaian bom meledak di beberapa kota besar di Indonesia yang menewaskan wisatawan mancanegara, seperti di Legian dan Jimbaran Bali selang beberapa tahun lalu.
Kesan dan image negatif Indonesia dibingkai sedemikian rupa oleh media asing sehingga terbentuk opini publik secara pasti bahwa begitulah Indonesia. Tak pelak, investasi dari luar sempat menurun ditambah lagi konflik politik antar elit yang tidak berkesudahan, dan korupsi yang merajalela membuat daftar negatifitas citra Indonesia semakin panjang.
Kita seakan tak mampu berbicara banyak. Boleh jadi kita memang bukan lagi negeri yang orang-orangnya ramah. Fakta kecilnya, setiap diri kita boleh bertanya seberapa sering kita menyapa dengan senyum tulus pada setiap orang yang kita temui. Seberapa besar keramahan kita ketika berjumpa orang-orang baru yang bertandang ke daerah kita. Seberapa ramahnya kita pada tamu-tamu yang datang ke kantor untuk menanyakan sesuatu, kepada masyarakat yang meminta pelayanan padahal sejatinya siapapun dan apapun profesinya, kita adalah pelayan.
Kesamaan dan kedekatan memang baru akan semakin terasa ketika kita berada dalam ruang yang besar sehingga tingkat peluang semakin kecil. Ketika peluang itu muncul maka akan semakin bernilai harganya. Inilah kira-kira logika yang dapat digunakan untuk menerangkan peristiwa yang saya alami.
Sebenarnya apapun ragam bentuk identitas yang kita miliki akan demikianlah muaranya. Seseorang bisa memiliki lebih dari satu identitas berdasarkan ragam latar belakang kehidupan, asal-usul, agama, daerah, suku, bangsa, profesi dan sebagainya. Dua orang petani yang terdampar di pulau nelayan akan merasa kedekatan yang sangat ketika bertemu karena hanya mereka berdua yang berprofesi sama di tempat itu, begitulah seterusnya.
Semisal sebagai urang Belitong, tentunya akan semakin dekat dengan urang Belitong lainnya ketika berada di daerah atau negara lain.
Dan mestinya harus semakin dekat lagi jikalau masih berada dalam satu komunitas dan wilayah yang sama, di Satu Pulau Belitong. Kini, menjelang peringatan Hari Jadi Kota Tanjungpandan ke-173 alangkah indahnya bila kita rekatkan kembali tali silaturahim sebagai sesama keluarga “perenggu urang Belitong”. Nilai-nilai kearifan lokal dan kultur Belitong sangatlah sarat dengan keramah-tamahan, sopan-santun, dan budaya konteks tinggi lewat tradisi “begalor”, “becangek” dan “bekelakar” yang mampu mencairkan segala suasana.
Kita tentu ingin nilai-nilai luhur tersebut tidak terserabut dari akarnya. Budayakan saling tegur sapa dengan siapa saja dihiasi senyum manis, ramah tamah. Jangan sampai modernisasi mengalahkan kita. Jangan sampai teknologi dan ilmu pengetahuan menjadi dewa, sementara kita menjadi budak karena faktanya tidak sedikit dari kita atau sebagian anak muda yang enggan berkelakar dengan “sedare” (sanak keluarga) hanya karena asyik bermain play station di kamarnya.
Menjelang HJKT Tanjungpandan ke-173 mari bangkitkan budaya luhur daerah kita, yang ramah dan sopan. Apalagi tiga tahun terakhir ini Belitung sangat gencar mempromosikan pariwisatanya. ***
Artikel
tersebut menjelaskan salah satu kebudayaan Indonesia yang mulai
menghilang yaitu Ramah tamah. Saya sendiri memiliki pendapat tentang
budaya ramah tamah.
Sebagai
warga indonesia, saya merasa budaya ramah tamah yang merupakan ciri
khas bangsa Indonesia ini harus terus kita pelihara. Karena dengan
memelihara budaya ramah tamah ini, setiap warga di Indonesia akan
terjaga dari sifat negatif seperti kesombongan, keangkuhan, kesenjangan
sosial, dan perilaku negatif lainnya. Contohnya yang sering terjadi di
Indonesia adalah ketika seorang konglomerat atau manusia kalangan
atas/elite yang suka menindas kaum marjinal atau kelas bawah. Mereka
berperilaku sesuka hatinya dengan menindas pembantunya, menjual harga
dirinya, bahkan menampilkan kekayaan secara angkuh di hadapan kaum
miskin. Hal ini tentu saja berbanding terbalik dengan budaya ramah tamah
yang diajarkan oleh nenek moyang kita, budaya ramah tamah yang identik
dengan ketulusan, keikhlasan, keceriaan, dan sopan santun.
Pada
artikel di atas dijelaskan suatu kasus bahwa Indonesia sudah tidak
identik lagi dengan penduduk yang berbudaya ramah tamah. Berbagai kasus
seperti korupsi wisma atlet di Palembang yang membuat citra para pejabat
yang semula dipercayai rakyat untuk membangun negeri ini pun berubah
menjadi kebencian dikarenakan sifat keserekahan mereka. Bayangkan saja
berapa yang mereka curi dari rakyat Indonesia? Berapa banyak rakyat
indonesia yang dibuat sengsara, kelaparan, dan dibodohi karena kasus
korupsi ini?
Saya
pun setuju dengan penjelasan artikel di atas, Indonesia sudah mengkikis
budaya ramah tamahnya. Itu terjadi di masa lalu disaat kasus bom bali,
bom di gedung kedubes Australia, kasus bom bermodus paket buku, pemboman
gedung Ritz Chaltorn hingga menimbulkan Klub Sepak Bola asal Inggris
yang saat itu hendak berkunjung ke Indonesia, Manchester United, Batal
berkunjung karena tempat mereka menginap sudah di bom. Dan saya pun yang
saat itu sudah mengumpulkan uang untuk membeli tiket nonton langsung
pertandingannya gagal memenuhi impian saya untuk bisa menonton langsung
klub kesayangan saya. Hal ini tentu saja membuat saya dan warga
Indonesia lainnya sangat kecewa. Menurut pendapat saya, kasus teror bom
yang selalu menghantui Indonesia disebabkan sifat ego antara pemerintah
dan rakyatnya. Pemerintah yang selama ini dijadika rakyat sebagai wadah
aspirasinya kurang memperhatikan kondisi rakyatnya. Sehingga rakyat pun
memberontak dengan merusak fasilitas umum dengan kasus teror bom.
Bukannya memihak siapa-siapa, saya sebagai rakyat Inddonesia hanya
memiliki saran, jika memang ada masalah di negri ini yang harus
diselesaikan, selesaikan dengan cara yang baik. Libatkanlah rakyat,
perlakukanlah rakyat dengan ramah tamah, tinggalkan status sosial,
dengar aspirasinya dan Bermusyawarah dengan rakyat sehingga tidak
menimbulkan kecurigaan antara pemerintah dan rakyat. Bukannya Indonesia
negara Demokrasi?
Untuk
itu, marilah kita bangun dan bangkitkan kembali budaya ramah tamah di
Indonesia. Berilah salam atau setidaknya menyapa dengan senyum kepada
orang di sekitar kita. Dengan menerapkan sifat budaya ramah tamah dalam
kehidupan bermasyarakat, tentu saja akan menghilangkan image negatif
seperti yang dijelaskan artikel di atas. Saya setuju sifat ramah tamah
juga akan selalu melindungi pelakunya ketika berkunjung ke suatu tempat
yang memiliki perbedaan budaya. Contohnya ketika orang Sunda berkunjung
ke daerah yang mayoritas penduduknya orang minang, mungkin sulit bagi
orang sunda untuk berbaur dengan penduduk sekitar. Kana tetapi, dengan
menampilkan keramah tamahan, saya jamin orang sunda tersebut akan
diterima dengan baik oleh penduduk minang di daerahnya, kenapa? Karena
budaya ramah tamah merupakan budaya Indonesia yang dapat menyatukan
seluruh suku bangsa Indonesia. Yang mana hal tersebut akan berguna untuk
ketentraman bangsa ini, hingga pada akhirnya tidak ada kecurigaan
diantara kita sebagai rakyat Indonesia dan saling memepercayai dan bahu
membahu memajukan bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Amin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar